Selasa, 27 Juli 2010
Undang-Undang H.A.K.I
Negara pada tanggal 29 Juli 2002. Undang-undang Hak Cipta yang baru ini mulai
berlaku berlaku pada tanggal 29 Juli 2003.
Undang-undang ini memuat beberapa ketentuan baru, antara lain, mengenai:
database merupakan salah satu Ciptaan yang dilindungi;
penggunaan alat apa pun baik melalui kabel maupun tanpa kabel, termasuk
media internet, untuk pemutaran produk-produk cakram optik (optical disc)
melalui media audio, media audiovisual dan/atau sarana telekomunikasi;
penyelesaian sengketa oleh Pengadilan Niaga, arbitrase, atau alternatif
penyelesaian sengketa;
penetapan sementara pengadilan untuk mencegah kerugian lebih besar bagi
pemegang hak;
batas waktu proses perkara perdata di bidang Hak Cipta dan Hak Terkait, baik
di Pengadilan Niaga maupun di Mahkamah Agung;
pencantuman hak informasi manajemen elektronik dan sarana kontrol
teknologi;
pencantuman mekanisme pengawasan dan perlindungan terhadap produkproduk
yang menggunakan sarana produksi berteknologi tinggi;
ancaman pidana atas pelanggaran Hak Terkait;
ancaman pidana dan denda minimal;
ancaman pidana terhadap perbanyakan penggunaan Program Komputer untuk
kepentingan komersial secara tidak sah dan melawan hukum.
Langkah - langkah untuk mewujudkan H.A.K.I
pengetahuan dan teknologi Indonesia, maka diperlukan langkah-langkah sebagai
berikut:
Inventarisasi karya tradisional yang tergolong paten untuk dijadikan paten.
Untuk mencegah pencurian karya lokal yang umumnya masuk kategori paten
sederhana dan penemuan-penemuan baru, perlu dilakukan dengan
pembentukan dan pemberdayaan lembaga paten di daerah, dan juga
pembentukan kantor manajemen HAKI di universitas-univesitas dan lembaga
- lembaga penelitian.
Kantor-kantor paten di daerah, universitas maupun lembaga-lembaga
penelitian perlu dilengkapi dengan sarana komputer dan internet yang
memungkinkan penemuan atau karya intelektual atau tradisional di daerah
langsung didaftarkan untuk segera memperoleh paten.
Membuat sistem on-line (lewat internet) database tentang aplikasi pengajuan
paten, persetujuan paten, down-loading info, sampai melaksanakan transaksi
otomatis di Direktorat Paten.
Memberikan otonomi pengelolaan anggaran dirjen HAKI lewat swadana.
Meningkatkan intensif bagi penemu paten, baik yang dari kalangan
pemerintah maupun yang swasta.
Meningkatkan pemahaman hukum HAKI pada aparat hukum dan masyarakat.
Pelanggaran HAKI berupa pembajakan (piracy), pemalsuan dalam konteks
Hak Cipta dan Merek Dagang (counterfeiting), pelanggaran hak paten (infringement)
Copyright © 2005 www.asep-hs.web.ugm.ac.id
jelas merugikan secara signifikan bagi pelaku ekonomi, terutama akan melukai si
pemilik sah atas hak intelektual tersebut. Begitupun konsumen dan mekanisme pasar
yang sehat juga akan terganggu dengan adanya tindak pelanggaran HAKI.
Keras dan tegasnya undang-undang ini bisa dirasakan dari ilustrasi yang
disampaikan oleh Dr. Ahmad M.Ramli, S.H., M.H. Direktur Center of Cyber Law
Studies Fakultas Hukum Unpad. "Berdasarkan UU Hak Cipta, pembajakan
merupakan delik biasa. Artinya, jika saya memegang laptop dan polisi menduga
software-nya palsu, polisi bisa memeriksa saya tanpa pengaduan. Begitu pula seorang
penyanyi di atas panggung yang mengubah model 'lagu pop' menjadi 'dangdut' pun
bisa ditangkap polisi,".
Menurut Prof Philip Griffith, sesungguhnya hak cipta dikedepankan pertama
kali, untuk menciptakan balance antara beberapa kepentingan yang saling terkait dan
berkonflik di seputar karya sastra. "Pertama, kepentingan penulisnya sendiri, yang
pasti menganggap bahwa karya sastra adalah 'bagian dari dirinya' yang
dimaterialisasikan. Lalu, hak penerbit untuk ikut mendapat keuntungan melalui
jasanya mereproduksi karya sastra tersebut, dan ketiga hak masyarakat untuk
menikmati karya sastra itu," tandasnya.
Dari perspektif sosiologi hukum khususnya dalam ranah HAKI kesenian
sebagai subsistem dari masyarakat pengguna HAKI terdapat tiga komponen dasar
berbentuk segitiga (triangle), yakni komponen dasar tersebut satu sama lain saling
berhubungan dan memengaruhi. Ketiga komponen itu adalah, peraturan-peraturan
perundang-undangan (regulasi) termasuk di dalamnya sistem penegakan hukum (law
enforcement) yang disiapkan untuk mengemban kebutuhan HAKI. Kedua, komponen
seniman yang merupakan subjek hukum penyandang hak dan kewajiban atas HAKI.
Sementara itu, yang ketiga, adalah komponen masyarakat penikmat karya para
seniman.
Kewajiban setiap negara yang menandatangani kesepakatan perdagangan
dunia untuk melaksanakan perjanjian TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights) mulai 1 Januari 2000, hendaknya tidak dipandang sebagai beban.
Pengalaman di sejumlah negara memperlihatkan, kreativitas dan daya saing
masyarakat menunjukkan penegakan hukum HAKI turut mendorong investasi dan
pengalihan teknologi secara cepat di suatu negara, serta merangsang daya saing
masyarakat dan perusahaan setempat.
Muhyiddin mengungkapkan, kemajuan industri dan teknologi Malaysia yang
berlangsung cepat tak bisa dilepaskan dari komitmen pemerintah yang sejak awal
menjunjung tinggi hak atas kekayaan intelektual (HAKI), dengan membuat
seperangkat aturan hukum untuk menegakkannya. Salah satu wujud komitmen
tersebut ialah dibentuknya task force khusus langsung di bawah Perdana Menteri
untuk mengurusi soal HAKI, yang bukan hanya terdiri atas pejabat-pejabat
pemerintah, namun juga para pemegang hak cipta, paten, dan merek.
Penyebab utama masih rendahnya tingkat pengajuan paten oleh peneliti
Indonesia, yaitu antara lain:
Faktor masih relatif rendahnya insentif atau penghargaan atas karya penelitian
oleh Pemerintah hingga pada akhirnya kurang memicu peneliti dalam
menghasilkan karya ilmiah yang inovatif.
Porsi bidang riset teknologi senilai kurang dari 1% dari anggaran Pemerintah -
amat jauh tertinggal dari rata-rata angka riset negara-negara industri maju
umumnya - hanya akan mewariskan lingkungan yang tidak kondusif dalam
menumbuhkan SDM yang berkualitas kemampuan ilmu yang tinggi.
Para peneliti juga sering kurang menyadari pentingnya perlindungan paten
atas penemuannya.
Jarak lokasi tempat kerja peneliti yang tersebar di berbagai pelosok daerah
menyebabkan pos pengeluaran biaya perjalanan untuk pengurusan paten
menjadi hambatan tersendiri.
Sejarah H.A.K.I
there is one lesson in the past half century of economic development, it is that natural
resources do not power economies, human resources do” (jika ada pelajaran selama
setengah abad yang lalu mengenai perkembangan ekonomi adalah bahwa sumber
daya alam tidak menggerakkan ekonomi; sumber daya manusia yang melakukan itu).
Maka dari itu pengembangan SDM mutlak perlu, agar dapat memanfaatan SDA yang
ada dan tidak hanya tergantung pada keahlian atau pengetahuan SDM asing. Presiden
Nyrere pernah mengungkapkan, alih teknologi merupakan kewajiban hukum dari
negara maju ke negara berkembang; jadi bukan atas dasar belas kasihan. Agreement
on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights sendiri menekankan sistem
HaKI dimaksudkan untuk “contribute to the promotion of technology, to the mutual
advantage of producers and users of technological knowledge and in a manner
conductive to social and economic welfare, and to a balance of rights and
obligations”.
Modal intellectual capital akan menjadi lebih penting dan strategis fungsinya,
bila dibandingkan dengan physical capital, yang sebelumnya menjadi sumber utama
proses produk barang-barang konsumsi untuk kesejahteraan umat manusia.
Intellectual capital dapat bergerak dan bersirkulasi dengan tingkat kekerapan sangat
tinggi dalam arus perputaran modal dunia, khususnya di negara-negara maju. Ketika
kemajuan teknologi begitu pesat dan pasar terus bertransformasi dalam tataran global
dalam bentuk "transnational", diperlukanlah perangkat hukum untuk meningkatkan
dan melindungi kepentingan investasi industri, budaya dan pasar. Dari sanalah, pada
pertengahan tahun 1980-an, negara-negara yang tergabung dalam GATT/WTO
bersepakat tentang aturan main IPR atau HAKI.
Salah satu butir World Intellectual Declaration yang dikeluarkan oleh Policy
Advisory Commission World Intellectual Property Organization (“WIPO”), yang
pada salah satu butirnya berbunyi : “Also in the context of development, efficient
intellectual property systems are indispensable elements in securing investment in
crucial sectors of national economies, particularly in developing countries and
countries in transition.” Sementara itu, walaupun mempersoalkan tentang belum
terdapatnya kesepakatan antara para akhli mengenai dampak langsung antara sistem
HaKI yang baik dan peningkatan arus modal asing, Maskus menulis: ”Trade flows
into large developing economies with significant capacities for imitation are
restricted by weak IPRs. Adoption of the TRIPs standards bears the potential to raise
their imports of technologically sophisticated goods by significant amounts”.
Sedangkan Correa berkata: “…. It is very difficult to make a quantitative assessment
of its likely economic impact. It is evident thatStatute of Monopolies (1623). Amerika Serikat baru mempunyai undang-undang
paten tahun 1791.
Upaya harmonisasi dalam bidang HaKI pertama kali terjadi tahun 1883
dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek dagang dan desain.
Kemudian Berne Convention 1886 untuk masalah copyright atau hak cipta. Tujuan
dari konvensi-konvensi tersebut antara lain standarisasi, pembahasan masalah baru,
tukar menukar informasi, perlindungan mimimum dan prosedur mendapatkan hak.
Kedua konvensi itu kemudian membentuk biro administratif bernama the United
International Bureau for the Protection of Intellectual Property yang kemudian
dikenal dengan nama World Intellectual Property Organisation (WIPO). WIPO
kemudian menjadi badan administratif khusus di bawah PBB yang menangani
masalah HaKI anggota PBB.
Pada kesempatan yang berlainan diselenggarakan perundingan di Uruguay
(Uruguay Round) disponsori oleh Amerika yang membahas tarif dan perdagangan
dunia yang kemudian melahirkan kesepakatan mengenai tarif dan perdagangan
GATT (1994) dan kemudian melahirkan World Trade Organisation (WTO).
Kemudian terjadi kesepakatan antara WIPO dan WTO dimana WTO
mengadopsi peraturan mengenai HaKI dari WIPO yang kemudian dikaitkan dengan
masalah perdagangan dan tarif dalam perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights (TRIPs) untuk diterapkan pada anggotanya. Indonesia sebagai
anggota WTO telah meratifikasi perjanjian tersebut tahun 1995.
Perbedaan antara WIPO dan WTO yang cukup penting antara lain adalah
pendekatan dalam penyelesaian sengketa. Jika di WIPO, a dispute among private
companies is treated as a dispute among them sedangkan di WTO a dispute among
private companies is (can be) treated as a dispute among their countries. Sehingga di
dalam TRIPs sengketa dagang antar perusahaan dapat diambil alih oleh negara yang
bersangkutan dan WTO berhak menjatuhkan sangsi berdasarkan argumentasi negaranegara
yang bersengketa.
Pada tahun 1994, Indonesia masuk sebagai anggota WTO (World Trade
Organization) dengan meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu Agreement
Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia). Salah satu bagian penting dari Persetujuan WTO adalah
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade
In Counterfeit Goods (TRIPs). Sejalan dengan TRIPs, Pemerintah Indonesia juga
telah meratifikasi konvensi Internasional di bidang HaKI, yaitu:
Paris Convention for the protection of Industrial Property and Convention
Establishing the World Intellectual Property Organizations, dengan Keppres
No. 15 Tahun 1997 tentang perubahan Keppres No. 24 Tahun 1979
Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT, dengan
Keppres No. 16 Tahun 1997
Trademark Law Treaty (TML) dengan Keppres No. 17 Tahun 1997
Bern Convention.for the Protection of Literary and Artistic Works dengan
Keppres No. 18 Tahun 1997
WIPO Copyrights Treaty (WCT) dengan KeppresNo. 19 Tahun 1997
Hak eksklusif yang diberikan Negara kepada individu pelaku HaKI (inventor,
pencipta, pendesain dan sebagainya) tiada lain dimaksudkan sebagai penghargaan
atas hasil karya dan agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut
mengembangkannya lagi Di samping itu sistem HaKI menunjang diadakannya sistem
dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas manusia sehingga kemungkinan
dihasilkannya teknologi atau hasil karya lainnya yang sama dapat
dihindarkan/dicegah. Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan
masyarakat dapat memanfaatkannya dengan maksimal untuk keperluan hidupnya atau
mengembangkannya lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi
lagi.
the impact to the Agreement will
significantly vary in accordance with the levels of economic and technological
development o the countries concerned.”
Sejarah H.A.K.I
Seperti kutipan, di The Washington Post edisi 28 April 2001 yang berbunyi : “. . . . if
there is one lesson in the past half century of economic development, it is that natural
resources do not power economies, human resources do” (jika ada pelajaran selama
setengah abad yang lalu mengenai perkembangan ekonomi adalah bahwa sumber
daya alam tidak menggerakkan ekonomi; sumber daya manusia yang melakukan itu).
Maka dari itu pengembangan SDM mutlak perlu, agar dapat memanfaatan SDA yang
ada dan tidak hanya tergantung pada keahlian atau pengetahuan SDM asing. Presiden
Nyrere pernah mengungkapkan, alih teknologi merupakan kewajiban hukum dari
negara maju ke negara berkembang; jadi bukan atas dasar belas kasihan. Agreement
on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights sendiri menekankan sistem
HaKI dimaksudkan untuk “contribute to the promotion of technology, to the mutual
advantage of producers and users of technological knowledge and in a manner
conductive to social and economic welfare, and to a balance of rights and
obligations”.
Modal intellectual capital akan menjadi lebih penting dan strategis fungsinya,
bila dibandingkan dengan physical capital, yang sebelumnya menjadi sumber utama
proses produk barang-barang konsumsi untuk kesejahteraan umat manusia.
Intellectual capital dapat bergerak dan bersirkulasi dengan tingkat kekerapan sangat
tinggi dalam arus perputaran modal dunia, khususnya di negara-negara maju. Ketika
kemajuan teknologi begitu pesat dan pasar terus bertransformasi dalam tataran global
dalam bentuk "transnational", diperlukanlah perangkat hukum untuk meningkatkan
dan melindungi kepentingan investasi industri, budaya dan pasar. Dari sanalah, pada
pertengahan tahun 1980-an, negara-negara yang tergabung dalam GATT/WTO
bersepakat tentang aturan main IPR atau HAKI.
Salah satu butir World Intellectual Declaration yang dikeluarkan oleh Policy
Advisory Commission World Intellectual Property Organization (“WIPO”), yang
pada salah satu butirnya berbunyi : “Also in the context of development, efficient
intellectual property systems are indispensable elements in securing investment in
crucial sectors of national economies, particularly in developing countries and
countries in transition.” Sementara itu, walaupun mempersoalkan tentang belum
terdapatnya kesepakatan antara para akhli mengenai dampak langsung antara sistem
HaKI yang baik dan peningkatan arus modal asing, Maskus menulis: ”Trade flows
into large developing economies with significant capacities for imitation are
restricted by weak IPRs. Adoption of the TRIPs standards bears the potential to raise
their imports of technologically sophisticated goods by significant amounts”.
Sedangkan Correa berkata: “…. It is very difficult to make a quantitative assessment
of its likely economic impact. It is evident that the impact to the Agreement will
significantly vary in accordance with the levels of economic and technological
development o the countries concerned.”
Secara historis, undang-undang mengenai HaKI pertama kali ada di Venice,
Italia yang menyangkut masalah paten pada tahun 1470. Caxton, Galileo dan
Guttenberg tercatat sebagai penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu
tersebut dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka. Hukum-hukum
tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris di jaman TUDOR
tahun 1500-an dan kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris yaitu
Copyright © 2005 www.asep-hs.web.ugm.ac.id
Statute of Monopolies (1623). Amerika Serikat baru mempunyai undang-undang
paten tahun 1791.
Upaya harmonisasi dalam bidang HaKI pertama kali terjadi tahun 1883
dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek dagang dan desain.
Kemudian Berne Convention 1886 untuk masalah copyright atau hak cipta. Tujuan
dari konvensi-konvensi tersebut antara lain standarisasi, pembahasan masalah baru,
tukar menukar informasi, perlindungan mimimum dan prosedur mendapatkan hak.
Kedua konvensi itu kemudian membentuk biro administratif bernama the United
International Bureau for the Protection of Intellectual Property yang kemudian
dikenal dengan nama World Intellectual Property Organisation (WIPO). WIPO
kemudian menjadi badan administratif khusus di bawah PBB yang menangani
masalah HaKI anggota PBB.
Pada kesempatan yang berlainan diselenggarakan perundingan di Uruguay
(Uruguay Round) disponsori oleh Amerika yang membahas tarif dan perdagangan
dunia yang kemudian melahirkan kesepakatan mengenai tarif dan perdagangan
GATT (1994) dan kemudian melahirkan World Trade Organisation (WTO).
Kemudian terjadi kesepakatan antara WIPO dan WTO dimana WTO
mengadopsi peraturan mengenai HaKI dari WIPO yang kemudian dikaitkan dengan
masalah perdagangan dan tarif dalam perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights (TRIPs) untuk diterapkan pada anggotanya. Indonesia sebagai
anggota WTO telah meratifikasi perjanjian tersebut tahun 1995.
Perbedaan antara WIPO dan WTO yang cukup penting antara lain adalah
pendekatan dalam penyelesaian sengketa. Jika di WIPO, a dispute among private
companies is treated as a dispute among them sedangkan di WTO a dispute among
private companies is (can be) treated as a dispute among their countries. Sehingga di
dalam TRIPs sengketa dagang antar perusahaan dapat diambil alih oleh negara yang
bersangkutan dan WTO berhak menjatuhkan sangsi berdasarkan argumentasi negaranegara
yang bersengketa.
Pada tahun 1994, Indonesia masuk sebagai anggota WTO (World Trade
Organization) dengan meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu Agreement
Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia). Salah satu bagian penting dari Persetujuan WTO adalah
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade
In Counterfeit Goods (TRIPs). Sejalan dengan TRIPs, Pemerintah Indonesia juga
telah meratifikasi konvensi Internasional di bidang HaKI, yaitu:
§ Paris Convention for the protection of Industrial Property and Convention
Establishing the World Intellectual Property Organizations, dengan Keppres
No. 15 Tahun 1997 tentang perubahan Keppres No. 24 Tahun 1979
§ Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT, dengan
Keppres No. 16 Tahun 1997
§ Trademark Law Treaty (TML) dengan Keppres No. 17 Tahun 1997
§ Bern Convention.for the Protection of Literary and Artistic Works dengan
Keppres No. 18 Tahun 1997
§ WIPO Copyrights Treaty (WCT) dengan KeppresNo. 19 Tahun 1997
Hak eksklusif yang diberikan Negara kepada individu pelaku HaKI (inventor,
pencipta, pendesain dan sebagainya) tiada lain dimaksudkan sebagai penghargaan
atas hasil karya dan agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut
mengembangkannya lagi Di samping itu sistem HaKI menunjang diadakannya sistem
dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas manusia sehingga kemungkinan
dihasilkannya teknologi atau hasil karya lainnya yang sama dapat
dihindarkan/dicegah. Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan
masyarakat dapat memanfaatkannya dengan maksimal untuk keperluan hidupnya atau
mengembangkannya lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi
lagi.